Tapi Lebih Dari Itu (#mendadakporter)

mendadakporter_

25 – 30 mei 2014
6 Hari perjalanan yang seumur hidup mungkin tidak akan terlupa. Perjalanan menjelajahi dunia Dewi Anjani.
Dimulai dari hanya sendiri sampai bertemu 48 orang lainnya. Dari yang tidak mengenal sampai akhirnya terikat tidak sengaja oleh waktu. Ya, ada segelintir anak manusia yang akhirnya diikat oleh waktu, termasuk aku di dalamnya.

Di mulai dari 48 orang yang memiliki satu tujuan untuk mendaki Gunung Rinjani. Kami bertemu di Desa Sembalun (Desa di wilayah Lombok Timur). Memulai perjalanan dari sana di hari minggu pagi. Kami berdoa, meminta kelancaran, ketenangan, dan keselamatan untuk seluruh pendaki.

48 orang yang awalnya jalan bersama, lalu terpecah menjadi beberapa bagian. Hal yang wajar, karena setiap manusia memiliki kutub sendiri untuk akhirnya menyatu dengan yang lain. Meski begitu, jalan yang kami lalui tetap sama, hanya cerita dari setiap individunya saja yang pasti berbeda.

Aku berjalan senang memulai semua ini, melewati jalan berbatu kerikil – padang ilalang seluas mata memandang – gembala beserta sapi-sapi gemuk dan coklat – dibuatkan sup jagung asin – permainan kartu UNO yang menyenangkan di malam hari – menikmati senyuman-senyuman bintang bersama empat orang yang baru ku kenal – tidur – lalu bangun kembali untuk melanjutkan perjalanan melewati 7 Bukit Penyesalan – sampai di sebuah tempat Indah bernama Pelawangan Sembalun – dibuat kesal oleh laki-laki yang entah inginnya apa, menitah aku duduk di sini, duduk di sana, membuat ku kesal dan melempar carrier – tidur dua jam di dalam tenda dengan kemiringan yang cukup untuk berguling-guling.

Setelah itu semua, di saat ini lah waktu mulai menyublim kami. Jam dua belas malam hari, selasa 27 Mei 2014 kami bangun dengan semangat untuk mencapai puncak yang terlihat jelas dari tempat kami bermalam.  Aku, Tyas, Yuni, Dewi, Mba Reno, dan Mas Wahyu jalan beriringan saling menjaga. Menusuri hutan sebentar, lalu pasir yang terus menanjak.

Kami terus bersama, sampai di satu tempat kami beristirahat sebentar, lalu Yuni dan Dewi pamit jalan duluan. Aku, Tyas, Mba Reno, dan Mas Wahyu masih duduk di sana. Perut ku agak sedikit nyeri, sumilangeun kalau katanya orang Sunda (baca: hari pertama haid), aku coba untuk tidak terlalu menghiraukan, kupikir ‘dibawa jalan juga nanti hilang sakitnya’. Meski akhirnya malah semakin terasa sakit, seperti ada mesin penggiling daging di perut sebelah kiri ku.

Alhasil jalan ku melambat, Tyas yang menyadari itu dengan tabah menemani ku, beberapa kali kami hanya jalan berdua dan Tyas sabar menunggu ku yang sedikit-sedikit harus duduk karena tidak mampu menahan sakit. Sampai kami bertemu Mas Wahyu yang akhirnya bersama Tyas membantuku untuk terus berjalan, menyemangati ku yang sudah dilanda demotivasi.

Entah sudah di ketinggian berapa, angin sudah semakin kencang saat itu, perut ku makin tidak karuan rasanya, tubuh ku mulai terasa dingin dan menggigil (padahal sudah double jacket). Mas Wahyu meminta ku duduk dibalik batu, Tyas mengikuti dan mengusap-usap punggung ku.

“Din, lo pake jaket gue nih,  pake innernya.” Aku mendongak, melihat laki-laki, tinggi kurus, sedang melepas jaket bagian dalamnya, namanya Wahyu juga tapi kami memanggilnya Away.

Tyas membantuku memakai jaket yang dipinjamkan oleh Away, sementara Mas Wahyu memasak air hangat.  Ya, air hangat yang paling dibutuhkan setiap wanita dikala PMS melanda (nih FYI buat laki-laki :D). Setelah aku minum dan menyelipkan botol berisi air hangat ke perut, kami kembali berjalan. Beberapa kali Tyas dan Mas Wahyu menggandeng tanganku, menjaga, seolah menyuntikkan tenaga ekstra untukku. Tapi entah kenapa, beberapa kali aku jadi ingin menangis, terharu dengan perlakuan mereka semua.

Kami sempat tertidur sebentar menjelang matahari terbit, tidur dibalik batu besar, dan lumayan menjaga kami dari terpaan angin. Aku terbangun mendengar dengkuran di sebelah kanan ku, ternyata Mas Wahyu. Perlahan langit di hadapan kami berubah menjingga, ‘sunrise’ desis Mas Wahyu yang ternyata sudah terjaga.

Aku ingat dia bilang “Tuh lihat din, lihat tuh, sembuh deh pasti”. Aku tersenyum meringis, coba menerima sarannya untuk menikmati Matahari yang menyambut bumi Indonesia di bagian Timur ini, di atas ketinggian 3000 MDPL (entah berapa persisnya saat itu). Benar saja, sakit di perut ku mulai tidak terasa, kami berfoto sebentar lalu melanjutkan perjalanan.

Away sudah entah di mana, tidak terlihat. Mas Wahyu pun mulai berjalan cepat. Aku masih berdua dengan Tyas, jalur pendakian yang sudah semakin vertikal dan pasir berbatu membuat kami cukup kewalahan, padahal jaraknya hanya sisa ratusan meter saja. perut ku kembali berulah, kali ini lebih sakit, kalau tadi mesin penggiling mungkin sekarang puso yang ada di sana. Aku jalan beberapa langkah, lalu duduk kembali, seperti itu terus sampai di tanjakan terakhir dan masih bersama Tyas. Matahari juga saudah semakin terik.

Saat Tyas memutuskan untuk melanjutkan langkahnya, aku masih menahan sakit yang bukan kepalang. Aku meminta Tyas jalan duluan, dan entah aku akan terus melangkah atau tidak. Semenit, setengah jam, satu jam sudah Tyas berjalan, aku masih duduk menahan sakit perut ku. Sudah menangis, merintih, dan berdoa, sakitnya tak kunjung reda. Ku pikir, sudah cukup daripada terjadi hal-hal yang lebih buruk, yang paling penting aku sudah sungguh-sungguh berusaha sekuat tenaga.

Ini bukan soal mencapai puncak, ini soal menahan ego ku untuk sesuatu yang lebih penting. Kembali ke rumah dengan selamat, itu yang paling penting, batin ku. Tidak ada yang sia-sia untuk ku.

Aku memutuskan untuk menunggu mereka di titik tadi aku berpisah dengan Tyas. Jangankan turun sendiri, mencoba berdiri beberapa kali aku malah jatuh. Entah satu jam atau dua jam aku menunggu sampai akhirnya Yuni melewati ku dan mendengar ketika ku panggil. Setelah itu menyusul Tyas, Dewi, Mba Reno, Kiki, Mas Wahyu, Pak Mawardi, Mas Ais dan Away. Tyas memberiku roti, sementara yang lain berpikir untuk memapah ku turun ke bawah.

“Udah Din, ayo gue gendong aja” Away menawarkan bantuannya. Aku yang sudah tidak bisa berpikir banyak, kebingungan harus menerima atau menolaknya. Teman-teman pun mengamini tawaran Away. Ya, akhirnya aku digendong di atas Gunung Rinjani oleh seorang laki-laki yang baru saja mengenalku beberapa hari.

Tapi akhirnya bukan malah membaik, perut ku semakin sakit berkat kakiku yang terlipat saat digendong. Aku meminta untuk turun dan dipapah saja, Pak Mawardi dan Mas Wahyu yang akhirnya memapahku turun. Tanpa henti aku pun menguatkan diri, tapi akhirnya aku hilang kesadaran (iya, aku pingsan). Saat sadar di atas wajah ku sudah ada bendera merah putih menutupi, semua yang bersama ku saat itu semakin kerepotan, beberapa teman perempuan mengolesi perutku dengan balsam.

“Ini lagi mens yah? Udah pakai pembalut belum ini? Kalau aku si sarannya celananya dicopot aja ini mungkin terlalu ketat, pakai yang luarnya aja.” Seorang perempuan yang hanya aku dengar suaranya menyarankan seperti itu. And This is work!

Aku mencoba sarannya, perut ku mereda. Sakitnya berkurang, mungkin berkat balsamnya juga dan yang paling penting aku sudah bisa berjalan pelan tanpa dipapah.

Di siang terik kami sampai kembali di Pelawangan Sembalun – makan – istirahat – tidur. Sementara sebagian rombongan sudah melipat tenda bersama para porter melanjutkan perjalanan menuju Danau Segara Anak. Ini bentuk kebijakan dari pemimpin perjalanan kami (Pak Mawardi) karena sebagian dari mereka sudah sampai di Pelawangan Sembalun lebih pagi dari kami.

Malamnya Tyas dan Mas Wahyu memasakkan nasi goreng untuk kami. Aku, Dewi, Yuni, Mba Reno, Away, Mas Ais, Pak Mawardi, dan yang lain malah asik menyaksikan mereka berdua sambil sesekali meledek. Di sini lah kami akhirnya menamakan diri sebagai tim #mendadakporter :)) karena harus memasak sendiri dan besoknya harus membawa logistik, tenda, dan perlengkapan masak sendiri tanpa dibantu porter.

Waktu mulai menyublim kami (#mendadakporter: Tyas, Yuni, Dewi, Mba Reno, Aku, Mas Wahyu, Away, dan Mas Ais) mulai dari perjalanan menuju Danau Segara Anak – dibantu Mas Ais berjalan karena engkel ku sakit – berbincang bintang di malam hari sambil membuat nutri gel untuk perjalanan turun besok melalui Pelawangan Senaru – Rock Climbing di bukit senaru – makan arbei di hutan senaru – hujan-hujanan di hutan senaru – jalan malam horor di hutan senaru – minum air gula di warung senaru – sampai akhirnya kami sampai di post basecamp Senaru – lalu tidur mengampar di pelataran pos :’)

Mengharu biru perjalanan ku bersama kalian, dari terharu sampai kehabisan kata-kata.
Dari yang hanya sekedar say hello sampai menjadi malaikat penjaga.
Dimulai dri beberapa nama sampai mengerucut menjadi satu nama (#mendadakporter).

Untuk Kalian,
Untuk kalian teman dadakan ku
Untuk kalian penjaga dadakan ku

Untuk Tyas yang senyumnya semanis jagung
Untuk Yuni yang ngakaknya gak kayak monyet
Untuk Dewi yang hatinya lembut banget
Untuk Mba Reno yang tekadnya sebulat Raja Narnia
Untuk Mas Ais yang ternyata masih muda
Untuk Mas Wahyu yang selalu ada di belakang kami semua
Untuk Kak Awahy yang unpredictable

Kita berteman gak lama, gak banyak suka duka.
Waktu juga gak membiarkan kita sering bersama.
Tapi Tuhan mengatur satu waktu untuk kita.
Tuhan kasih waktunya untuk kita,
Tuhan mengijinkan waktu untuk menyublim kita.

Ini bukan soal cinta2an, bukan sayang2an, apalagi suka2an.
Ini pure soal pertemanan dadakan yang dirancang Tuhan.

Intinya aku mau bilang “Terimakasih”
Terimakasih karena sudah jadi penolong.

Terimakasih Tyas, untuk waktu dan sabar yang diberikan.
Terimakasih Yuni, untuk canda yang gak pernah habis.
Terimakasih Dewi, untuk setiap setiap senyum yang melegakan kami semua.
Terimakasih Mba Reno, untuk semangat yang selalu ditularkan.
Terimakasih Mas Ais, untuk topangan yang memudahkan.
Terimakasih Mas Wahyu, untuk tangan yang selalu menunggu.
Terimakasih Kak Awahy, untuk dingin dan lelah yang sudah dikorbankan.

Aku mau kalian tau,
Kalian bisa ganggu aku kapan aja,
Kalian bisa mengeluh ke aku kapan aja,
Kalian bisa repotin aku kapan aja,
Bahkan kalian bisa marahin aku kapan aja.

Karena aku gak mau kalian merasakan susah sendiri.
Karena kalian bukan hanya sekedar teman dadakan dari Tuhan.
Tapi lebih dari itu…

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s