Kami ada karena kami berbagi – Ayo Sekolah Part 1 — #31HariMenulis

IMG_1552

“Dari semua itu kami belajar satu hal, bahwa ini semua adalah bentuk komitmen yang kami bangun bersama. Kalau masalah sebesar ini bisa kami lampaui, berarti kami akan terus bersama untuk menghadapi masalah berikutnya.”

“Kalau mau membantu orang itu harus lihat kemampuan kita dulu din, udah cukup apa belum.” Begitulah nasihat paman yang ternyata  belakangan sedikit khawatir dengan pilihan-pilihan hidup yang saya buat satu tahun terakhir.

Kalau nunggu cukup, yah gue akan pernah bisa berbagi sama orang banyak – saya menjawab cukup di dalam hati, malas harus beragumentasi.

‘Berbagi’, mendengar satu kata ini secara sistematis tetris-tetris di kepala sayamembuka sebuah celah, tempat sebuah cerita drama super panjang yang saya alami puluhan hari lalu tersimpan.

Cerita ini lebih panjang dari jarak Jakarta – Pandeglang, lebih drama dari Catatan Hati Seorang Istri, bahkan lebih memilukan daripada kemacetan Kota Jakarta setiap hari.hahaha *lebeee

Bermula dari seorang teman yang minta dibuatkan sebuah logo komunitas, hingga saya sendiri ikut tercebur dan berkomitmen menjaga agar logo tersebut tidak hanya sekedar menjadi simbol. Tetapi menjadi penerang (inspirasi dan motivasi) bagi siswa siswi Indonesia yang masih terjebak tradisi desa, yang masih buram gambaran akan pentingnya sebuah pendidikan.

Bermodalkan semangat berbagi, maret 2014 kami berangkat menuju desa di ujung provinsi banten untuk survey kondisi siswa dan sekolah SMP di sana. Semua berjalan lancar, mulai dari mobil yang kami sewa cukup tangguh melalui medan tanah basah dan berbatu. Tidak henti-hentinya kami dikejutkan dengan kondisi jalan yang teksturnya semakin tidak beraturan.

Sepanjang jalan desa kami berdebat soal ‘yang mana soang dan yang mana bebek’. Sampai di desa Cipeuti kami disambut siswa/i SD Cipeuti yang sebenarnya bukan menjadi target di dalam visi dan misi Ayo Sekolah. Tidak ingin mengecewakan adik-adik lucu ini, kami menyempatkan diri bermain-main dengan mereka, sambil menunggu rapat guru di SMP Sobang -yang masih satu area dengan SD Cipeuti- selesai. *Satu area, satu desa tapi beda nama (saya juga bingung dengan yang satu ini,hehe).

Menjelang siang kami dipertemukan dengan guru-guru SMP Sobang di satu ruangan kelas, disambut oleh Kepala Sekolah dengan pidato khas “Salawat dan Salam kita haturkan bla bla bla” hehe. Selanjutnya Kak Pida menyampaikan maksud dan tujuan kami datang ke desa  Cipeuti ini. Beberapa teknis kami bicarakan agar pelaksanaan kegiatan kami di bulan berikutnya berajalan lancar. Amin dari lubuk hati terdalam kami semua. Entah apa yang terlewat dari doa kami, hingga di bulan berikutnya:

Tim Ayo Sekolah (Saya, Kak Pida, Lizar, Nuzul, Doki, Abida) bersama tiga orang volunteer (Rendi, Viringga, dan Enti) berkumpul di Roti Bakar Edi Jalan Margonda Raya, saling berkenalan antara Tim dan Volunteer, tidak lupa kami mengisi perut untuk perjalanan panjang menuju pelosok desa di ujung Provinsi Banten itu. Jam 12 malam menuju pagi, kami berangkat dan berdoa sebelumnya meminta kelancaran kepada Sang Maha Segala.

Di sepertiga pagi kami sudah memasuki kecamatan Sobang, lewat sedikit dari gedung kecamatan kami sudah dibuat menahan nafas oleh kondisi jalan, “ini baru appetizer” seru saya kepada 3 volunter.

Setelah itu kami diberi kemudahan dengan kondisi jalan yang sudah berbeton, jalan ini membelah hamparan sawah yang belum terlihat hijau karena langit masih gelap. Setelah itu, baru lah Lizar —pengemudi expert satu-satunya di tim Ayo Sekolah– bermain dengan ketangkasannya melintasi satu persatu kubang-kubang besar, batu-batu yang lebih besar dari kepala ku dan tanah merah basah yang terlihat percis coklat meleleh di iklan-iklan coklat mahal. Sering kali kami menahan nafas lalu sesudahnya mengucap syukur ‘alhamdulillah’ lalu menahan nafas lagi, reaksi kami kadang lebih ‘gak santai’ dibanding Lizar. Entah supir lintas sumatera mana yang menjadi guru kemudinya.

Menjelang subuh kami sampai di ujung desa pertama kecamatan Sobang, istirahat sebentar ‘lurusin kaki’. Setelah semuanya –kecuali Saya dan Kak Pida– sholat subuh, perjalanan dilanjutkan dengan berganti pengemudi. Kali ini Kak Viringga yang akan mengasah bakatnya menjadi supir lintas desa *banten.

Barulah ini yang ku sebut “main course”, sebuah jalan menurun yang tidak cukup terjal, berbatu dan lagi-lagi menahan nafas kami. Terlebih yang menyetir kali ini bukan Lizar, jadilah kami semakin tegang. Beberapa dari kami bernafas lega sambil mengelus dada setelah rintangan “main course” tadi.

Langit mulai cerah, bentuk jalan yang kami lalui menjadi semakin jelas. Di hadapan kami sudah terbentang jalan menanjak yang bentuknya tidak kalah heboh dari jalan tadi. Kiri kanannya hanya ada pohon-pohon cukup tinggi, sepertinya layak disebut hutan *kecil. Setelah memikirkan resiko kanan kiri dsb. Penuh keyakinan Kak Viringga menginjak gas, mengarahkan setir ke kiri, dan…..

YAAKKK!! kami terjerembab. ‘brrrrmmmm brrrrmmmmmm’ beberapa kali Kak Viringga berusaha menginjak gas. Bukan bergerak, roda belakang mobil itu malah tertimbun lumpur semakin dalam.

Kami semua turun dari mobil, “Dorong, hitungan ke tiga yah” Kak Viringga memberi aba-aba dari balik kemudi “satu… dua… tiga…” Beberapa kali, dan kami sukses membenamkan roda mobil itu lebih dalam.

“Oke, coba kita goyang-goyangin mobilnya ke kanan ke kiri lalu gas lagi” entah siapa yang memberi ide ini, saya gak ingat. 😀 Tapi ide ini pun gagal.

Hasil dari usaha kami tadi hanya oli yang terus mengucur dari bagian bawah mobil. APV merah besar ini jadi terlihat sedang menstruasi *gakpenting. Tapi disaat-saat genting seperti itu kami justru banyak berpikir aneh dan gak penting yang akhirnya membuat ketegangan hilang. Biasanya orang lain mungkin akan bertengkar dan saling menyalahkan, tapi kami justru foto-foto dan itu tadi –berbicara aneh dan gak penting. 😀 Meskipun gak menyelesaikan masalah, tapi minimal kami tetap dalam suka cita.

Langit sudah benar-benar terang, beberapa petani sudah lalu lalang, dan kami masih berjuang. Haha 😀 Tidak lama Pak Guru yang beberapa kali ditelfon Nuzul akhirnya datang, kami memutuskan untuk meninggalkan mobil di tengah hutan *kecil itu, dan berjalan kaki sepanjang *kirakira 3 km menuju Desa Cipeuti. “Gak apa-apa deh yang penting tepat waktu, kasihan adik2 udah nunggu di sekolah” begitu seru kami untuk menyemangati satu sama lain.

Kami melupakan sejenak persoalan mobil ini. Fokus kami tetap untuk adik-adik di SMP Sobang. Entahlah, bagaimana nanti penyelesaian soal si mobil itu.

Berjalan kaki kira-kira 3km, baru lah kami sampai di rumah Bu Nar (Ibu yang akan kami tumpangi rumahnya untuk bermalam). Setelah bersih-bersih, dan menyiapkan hal-hal untuk acara, kami berjalan kaki menuju sekolah. Di sana sudah ada adik-adik SMP Sobang yang menunggu. Dimulai dari ice breaking, lalu masing-masing volunteer mengisahkan perjuangannya untuk memperoleh pendidikan. Sebagian cerita bisa dilihat di website Ayo Sekolah.

Acara di sekolah selesai, semua siswa/i membawa semangat baru menuju impiannya. Mereka mendapat pelajaran baru, bahwa segalanya harus diperjuangkan saat kita berkeinginan. Bahwa tidak ada hal yang mustahil, dan yang lain-lainnya.

Di sisi lain, kami para tim dan volunteer masih harus berjuang dengan mobil yang piknik di tengah hutan 😀 Singkatnya mobil ini akhirnya rusak dengan kami paksakan untuk sampai di Jakarta, sebenarnya sudah dengan banyak pertimbangan, bukan dipaksa juga.

Jadilah mobil APV merah besar itu sampai di Jakarta dengan bunyi-bunyi yang cukup aneh. Mobil itu mengalami kerusakan yang gak sepele. Memperbaikinya seperti semula itu sama dengan memindahkan mesin mobil baru ke body mobil yang kami pakai. Biayanya sekitar 75jutaaaaa.. Uangggg itu uanggg,,, dari manaaaa cobaaa dapetnya -__-

Kabar buruk berikutnya, mobil ini milik seorang dari mabes TNI… Makin horor lah kami ini dibuat oleh keadaan. <<<— bahasaaa appppaaahhh?? >..<

Tapi Tuhan gak tidur, melalui beberapa proses yang amat sangat dramatis. Ongkos membenahi mobil menjadi lebih ringan, jauh lebih ringan dari yang kami perkirakan. Tapi tetap saja, kami harus patungan untuk biaya perbaikan mobil ini. Sampai sekarang pun saya sendiri belum bisa melunasi itu.. (maap yah zar,,, masih usaha)…

Dari semua itu kami belajar satu hal, bahwa ini semua adalah bentuk komitmen yang kami bangun bersama. Kalau masalah sebesar ini bisa kami lampaui, berarti kami akan terus bersama untuk menghadapi masalah berikutnya (seperti itu kira-kira perkataan lizar)..

Ini semua gak ada apa-apanya dibanding yang akan kami berikan nanti untuk SMP Sobang dan Desa Cipeuti, misi besar kami gak boleh dikalahkan oleh satu dua masalah.

Toh, akhirnya perjuangan kami selama hampir satu tahun ini selalu dibukakan pintu-pintu kebaikan berikutnya. Ternyata gak ada batasan untuk berbagi, gak harus menunggu mampu dulu koq. Saya akan ceritakan (di postingan berikutnya) kebaikan apa yang akhirnya kami dapat di penghujung tahun ini. Di tengah-tengah kegamangan kami atas project ini. Ternyata Tuhan justru menitipkan amanat yang lebih besar lagi. Ternyata ujian mobil itu untuk hadiah di penghujung tahun ini. Mungkin kalau jalannya mulus-mulus aja kami gak akan menerima apa-apa dari Tuhan. Mungkin memang gak ada yang terlewat dari doa kami di awal kunjungan, justru doa kami terlalu tulus, hingga Tuhan memberi yang lebih untuk kami 🙂

Selamat berjuang untuk hari-hari berikutnya teman-teman. Semangat Berbagi kalian akan terus menyembulkan balon-balon kebaikan untuk banyak anak di pelosok desa.

Kami ada karena kami berbagi…

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s