Ada dua jenis pejuang yang mengorbankan dirinya demi sebuah misi kemanusiaan. Satunya tentara militer, satunya lagi adalah seorang dokter. Dari dua keahlian yang berbeda ini akhirnya menimbulkan ironi yang sangat rumit, ketika berlangsung misi penyelamatan di sebuah area bencana.
Ada dua orang korban yang harus diselamatkan, satunya seorang pegawai baru yang tertusuk besi panjang di bagian dada. Tepat di seberang pegawai baru itu ada seorang expertise yang sangat diandalkan terperangkap di bawah beton besar, beratnya cukup untuk memutus antara badan dan kakinya.
Kedua korban itu terperangkap di satu media yang sama. Jika besi panjang itu dipotong maka beton di seberangnya akan jatuh menimpa si pegawai expert tadi. Sebaliknya jika betonnya yang diangkat maka besi panjang itu akan semakin menusuk dada hingga ke jantung si pegawai baru.
Pertanyaannya siapa yang layak untuk diselamatkan oleh kedua pejuang tadi?
Bagi seorang tentara, yang terpenting dalam misi penyelamatan adalah memaksimalkan waktu dan kesempatan dengan seminimal mungkin resiko. Jadi (meskipun sulit) bagi si tentara, mengorbankan/menghilangkan nyawa manusia demi menyelamatkan nyawa manusia lainnya adalah pilihan yang mungkin untuk dilakukan. Tapi tidak untuk si dokter, memilih antara kedua itu menjadi sebuah ironi dan tidak mungkin dilakukan.
Kemudian yang dilakukan si dokter adalah menggunakan segala kemampuan dan persediaan obat penahan rasa sakit yang dimiliki, untuk mempersiapkan keduanya menerima rasa sakit.
Apapun keputusan yang diambil, apakah besinya yang dipotong atau betonnya yang diangkat, akan tetap membunuh satu satunya. Dua pejuang (Tentara & Dokter) tadi tetap akan merasakan rasa bersalah yang sama.
Kisah pendek di atas saya ceritakan ulang dari sebuah adegan film yang saat ini cukup untuk mendeskripsikan kondisi sebuah gerakan, di mana saya berada di dalamnya.
Sayangnya saya bukan dokter ataupun tentara yang sedang dalam misi penyelamatan di film itu.
Keputusannya telah diambil, salah satu diantaranya telah dikorbankan, dan harus direlakan. Memaksa hanya akan membuat goncangan yang lebih besar pada media (gerakan)nya, dan akan membawa dampak bertambah hilangnya banyak nyawa (semangat).
Kalau kemudian di film itu si dokter mengikhlaskan dan meminta maaf kepada keluarga korban yang ditinggalkan. Saya juga ingin meminta maaf kepada kawan yang terkorbankan, yang mundur dengan berani dan kepala tegap. Maaf karena tidak banyak yang bisa saya lakukan. Maaf..