Ada seorang teman yang baru-baru ini saya kenal – seorang ibu dari 3 orang anak tanpa bapak, dalam tulisan ini saya akan memanggilnya Maria. Bukan, bukan sama sekali seperti Bunda Maria, teman saya ini adalah manusia berjenis kelamin perempuan pada umumnya yang telurnya harus dibuahi oleh sperma laki-laki.
Di mata suaminya membuahi tidak berarti berjuang bersama untuk menghidupi. Saya lupa kapan persisnya ia mulai menjadi orang tua tunggal, yang saya ingat dari pertemuan sore itu adalah sebatang tembakau di bibir Maria, satu demi satu habis dibakar melahirkan kepulan asap bersama cerita tentang kesehariannya. “Yang penting warung gue laku, banyak orang datang beli, anak-anak gue bisa makan, sekolah, dijalanin aja.”
“di jalanin aja” adalah bentuk penerimaan yang Maria coba sampaikan kepada saya. Sebuah kepasrahan pada keadaan yang teramat terlanjur.
Maria bukan perempuan pertama yang mengenalkan saya pada akhir cerita terburuk dari sebuah pilihan yang teramat terlanjur. Bulan Juli kemarin saya dipertemukan dengan Oma Olivia di Kupang yang bersama suaminya memilih Indonesia sebagai rumah, mereka meninggalkan harta dan aset di Timor Leste ketika terjadi referendum antar kedua negara. Anaknya yang memilih tinggal di Timor Leste meninggal beberapa tahun kemudian karena sakit. Kini ketiga cucunya tinggal bersama Oma Olivia di sebuah rumah kecil berukuran sembilan meter persegi dengan tanah yang kering tidak bisa ditanami apapun, “Yang penting sekarang cucu-cucu Oma bisa makan, sehat, cuma mereka saja yang Oma punya. Oma gak apa-apa hidup susah seperti ini yang penting ada cucu-cucu.”
Cucu dan anak adalah alasan kedua perempuan tersebut untuk tidak sekedar pasrah atau mengutuk keadaan yang teramat terlanjur. Ada nyawa seorang anak yang menjadi lebih dari sekedar harapan hidup.
Bagi Maria dan Oma Olivia, nyawa dan kebahagiaan seseorang yang mereka perjuangkan adalah hidup itu sendiri.
Alih-alih berpasrah, kedua perempuan tersebut gigih memperjuangkan nyawa generasi yang lahir dari rahimnya. Keadaan yang teramat terlanjur tidak serta merta diterima begitu saja.
Kegigihan Maria dan Oma Olivia mengingatkan saya pada seorang kakak di kantor yang sepanjang Agustus ini hampir setiap harinya berantakan. Target pekerjaan beliau untuk membantu pemerintah mengimunisasi 99% Anak Indonesia hampir saja gagal. Saya pernah membayangkan berada di posisi beliau, mungkin sudah pasrah menerima keadaan. Tapi, sampai malam di mana saya menulis ini, Kak Kiki masih mengencangkan ikat kepala untuk kampanye imunisasi di Pulau Bangka.
Satu hal yang selalu dengan tegas ia sampaikan “Ibu yang gak mau mengimunisasi anaknya itu egois, gak mikirin nasib anak-anak lain.” Ketegasan dan upayanya tentu bukan untuk mencapai target pekerjaan, Kak Kiki adalah ibu dari seorang anak yang ingin ia lindungi dari berbagai ancaman penyakit. Untuk teman-teman ketahui: Seorang anak yang telah diimunisasi tetap terancam wabah penyakit mematikan jika populasi di mana anak itu tinggal juga tidak juga dilindungi oleh imunisasi.
Kegigihan Kak Kiki memperjuangkan imunisasi kali ini adalah nyawa dan kebahagiaan yang ingin ia perjuangkan untuk Bintang.
Maria, Oma Olivia dan Kak Kiki menjadi anomali dari tujuan hidup masa kini, beberapa orang sering kali berucap “Hidup itu harus punya goals, mau jadi apa, hidupmu akan seperti apa 5 tahun ke depan.” Demi sebuah tujuan dan mimpi, saya sendiri pernah menggadaikan saat-saat terakhir duduk bersama Ibu, satu-satunya manusia yang menjadikan saya sebagai kebahagiaan hidupnya.
Dari para ibu saya memahami, bisa jadi yang kita butuhkan untuk tetap hidup bukanlah impian, tetapi seseorang untuk diperjuangkan, seorang nyawa yang lahir dari setiap rahim ibu.
Melalui tulisan kali ini saya ingin mengajak teman-teman ikut serta mendukung perjuangan para ibu, demi kebahagiaan dan hidup setiap anaknya. Untuk Bintang, ketiga anak Maria, cucu-cucu Oma Olivia dan Anak-anak Indonesia lainnya. Mereka yang lahir dengan penuh keistimewaan dan layak diperjuangkan.