Seminggu belakangan ini gue kembali mengingat-ingat hobi lama gue di masa SMP yaitu hobi dilabrak teman, HAHA. Penyebabnya sederhana yaitu karena gue males ribet, jadi kalau si A curhat ke gue tentang si B, gue akan cerita segamblang-gamblangnya ke si B, maksudnya biar si B sadar lalu ngajak ngomong si A, selesai deh masalah.
Maksudnya baik tapi ternyata hidup gak selurus itu ya. Si B kemudian ngomong ke si A, tentu beda situasi beda cara si A dan B ini berkomunikasi. Kemudian berimbas lah gue keseringan dilabrak kanan kiri, HAHA. Awalnya gue lempeng aja, gue pikir itu bagian dari membantu orang tapi lama-kelamaan gue merasa ada yang salah.
Gue cerita ke ibu akhirnya, komplain pingin pindah sekolah lagi ke Jakarta, terus gue ceritain satu persatu kelakuan gue yang pada dasarnya bisa dibilang ember, HAHA. Meskipun maksudnya gak sampai ke situ, terus ibu bilang “gak semua orang kalau cerita ke kakak itu harus dibantuin, itu mah cuma pingin didengerin aja kak. Kakak kan bukan guru BP, masa dikit-dikit harus bantu selesaiin masalah orang.”
Tentu gue belajar untuk jalanin saran ibu, pelan-pelan gue paham bahwa temen-temen gue tuh sekedar butuh ada yang puk-puk punggungnya, nawarin tissue untuk basuh air matanya. Mulai dari cerita sederhana percintaan, sampai di SMA gue mulai dengar cerita yang lumayan ekstrem, ya bapaknya naro golok di leher dia (kebetulan bapaknya ngobat, jadi ya begitu deh). Ada yang cerita betapa dongkolnya dia karena saluran MTv di rumahnya diputus karena bapaknya amat sangat konservatif. Ada juga yang cerita pengalaman pertamanya melakukan sexual intercourse dengan pacar pertama (wahai remaja😂), dan berbagai hal lain yang gue coba dengarkan sambil belajar apa arti dari semua itu instead of bantuin mereka cari solusi.
Beranjak dewasa ini, tentu ceritanya jadi lebih beragam dan permasalah orang dewasa gak semudah itu bisa gue ceritakan di blog. Tapiii, mengingat pesan si ibu soal gue bukan guru BP, kebetulan dimulai dari awal tahun ini gue beneran jadi “Guru BP” tapi mungkin “Ketua OSIS” adalah perumpamaan yang lebih tepat. Iya, gue jadi “Ketua Osis” bukan di sekolah, tapi di tempat dewasa ini gue menghabiskan waktu 8 jam dari Senin hingga Jumat.
Bakat jadi tempat sampah handal sangat membantu ketika gue harus dengar banyak isu, komplain dan berbagai aspirasi dari teman-teman. Tapi sayangnya gue udah gak punya ibu yang bisa gue sampahin di rumah, HAHA. Jadi sempat ada situasi di mana gue merasa gak berguna, karena dipilihnya gue dengan cara voting adalah fakta bahwa teman-teman percaya gue bisa bantu selesaiin masalahnya. Tentu ini jadi the next level dari pelajaran hobi dilabrak saat masa SMP itu. Pesan ibu bahwa cukup jadi pendengar baik aja (gue rasa) gak cukup. Orang dateng ke gue minta solusi, minimal minta saran, minta jalan, minta dibantu dengan apapun yang gue bisa.
Singkat cerita, gue menjalani dua bulan ini dengan berbagai pelajaran berharga, dari yang paling ringan sampai harus menengahi konflik. Tentu kalian membaca blog ini bukan sebagai infotainment berjalan tapi untuk tahu tentang pelajaran apa yang gue dapat, HAHA.
Ada masa di mana gue mulai frustasi dan merasa gak berguna, gue hampir harus minta maaf karena (merasa) posisi gue gak ada faedahnya. Tapi karena waktu juga yang mendesak gue harus bantu teman-teman, gue harus muter otak, berpikir agak kreatif meskipun mentok dan pada akhirnya mendapat saran dari seorang teman yang entah kenapa juga bisa-bisanya dia 24 jam ready buat gue.
Saran dari beliau akhirnya sedikit gue modifikasi dan menghasilkan solusi. Sejujurnya solusi itupun gue rasa kurang memuaskan, tapi itu udah yang terbaik yang bisa dilakukan dari sedikit pilihan yang gue punya. Tapi dari satu hal yang bikin gue frustasi gak berujung itu, ada banyak pelajaran yang gue dapat:
Satu, bahwa hal negatif yang sampai di kuping gue gak harus selalu diresapi dengan pikiran negatif dan gue harus mendengar dengan perasaan tapi merespon dengan logika. Misal, ada orang cerita “Gue benci banget sama ini orang, ngasih deadline ngalah-ngalahin proyek MRT” (tentu cerita ini fiktif ya). Pikiran pertama gue versi dua bulan lalu adalah “Siapa si orangnya, orang mana si, punya kehidupan gak si orang itu”. Padahal yang seharusnya nyangkut di pikiran gue adalah “Emang ada berapa banyak yang pegang project-nya? Lagi prioritas gak? Ini dia udah pernah coba nego ke orangnya belum ya?“
Dua, gue berkali-kali nyebut di dalam hati “Loe tuh manusia yang punya nurani Dinda”. Gue gak dinasihatin siapa-siapa untuk yang satu ini, tapi ini jadi semacam dzikir, karena beberapa kali ketika harus berhadapan dengan orang-orang yang punya kuasa gue takut jadi kebawa-bawa cara pikir mereka yang (gue takut) itu belum tentu benar. Gue sadar gue gak akan selalu bisa menyenangkan semua pihak, tapi paling gak apapun yang gue lakukan sudah dipertimbangkan dengan hati. Berkali-kali gue mengkritisi diri apa iya gue sampai hati melihat si A begini, melihat si B begitu.
Tiga, gak apa-apa punya pikiran dan emosi negatif, gue kan manusia biasa bukan ibu peri di film bidadari. Yang ini gak ada tapinya, begitu negatif ya negatif aja isi otak gue, komplain ya komplain aja, nangis ya nangis aja, emosi ya keluarin aja, mengumpat juga boleh. Tentunya di tempat yang tepat HAHA.
Empat, gue boleh jadi pelipur lara banyak orang tapi gue juga harus batasi diri. Membuat boundaries antara professional dan kehidupan personal itu ternyata memang semudah punya dua telepon genggam berbeda untuk professional dan personal, punya teman sebanyak-banyaknya di luar lingkungan professional dan punya hobi yang bisa gue lakukan. Jadi dengan sengaja membatasi pikiran antara dua hal tersebut akan sangat membantu ngurang-ngurangin stress dan melapangkan hati.
Terakhir, Good is just good enough.
Semoga tulisan ini bisa jadi pengingat untuk diri gue sendiri di hari-hari ke depan dan bisa bermanfaat untuk siapapun yang sedang frustasi melakukan upaya-upayanya di luar sana. Terakhir, semoga dengan menulis seperti ini menjadi cara yang paling transparan untuk membagikan sebuah pengalaman.