Ketakutan Menuju Timur

original

Timur Indonesia, wilayah yang sangat jauh dari tempat di mana ketika tulisan ini dibuat. Melihat beberapa dokumentasi teman-teman yang pernah datang ke sana sebelumnya, saya pikir perjalanan ini akan menjadi sama seperti ketika berkunjung setiap bulannya ke Cipeuti, Banten. Terpencil, jauh, pedalaman, dan tanpa akses menuju ke urban. Tapi apa iya akan benar-benar sama dengan perjalanan saya ke desa-desa sebelumnya? Sudah pasti berbeda.

Ketika tulisan ini dibuat, saya sedang menunggu jam penerbangan menuju ke Jayapura, perjalanan di atas udara nanti akan berlangsung selama lima hingga enam jam, ini akan menjadi penerbangan terlama bagi saya. Sudah pasti cemas, karena pada dasarnya saya tidak suka naik pesawat, rasanya seperti menyerahkan jiwa raga kepada satu orang di atas udara, yaitu si Pilot.

Sebelum keberangkatan malam ini, saya bersama Charlie (rekan sejawat yang juga bertugas ke sana) lebih dulu menghubungi officer di Jayapura, namanya Kak Ratih. Suara beliau terdengar sangat bersemangat menyiapkan segala sesuatunya di sana, terdengar sedikit lebih berteriak, mungkin sedang dipinggir pantai pikir saya 😀 Ternyata bukan, jaringan seluler di Papua memang sedang mengalami kerusakan, sehingga segala aktivitas komunikasi sudah pasti terganggu, kemarin pagi kami memang beruntung saja karena masih bisa bertelepon.

Kak Ratih menjelaskan sedikit kondisi wilayah yang akan kami kunjungi, tepatnya di Wamena. Ada perasaan MENCLOS sesaat ketika Kak Ratih mengatakan “lebih baik untuk kegiatan itu kita pakai bahan lokal aja, belum tentu mereka udah kenal biskuit, saya khawatir anak-anak di sana kaget.” Segitu jauhnya kah anak-anak di Timur sana? Ketika setiap harinya saya bisa memilah-milih dan memesan menu makanan seenaknya hanya dengan bermodalkan jempol. Anak-anak di ujung Timur Indonesia bahkan tidak sampai memiliki pilihan empat sehat lima sempurna.

Bukan soal perbandingan antara saya dan anak-anak di Papua yang akan kami temui nanti. Tapi penjelasan dari Kak Ratih membuat saya semakin cemas dan takut. Apa jadinya saya yang selama 25 tahun hidup dengan paparan modernitas harus berbagi cerita dan berkegiatan dengan mereka yang bahkan belum tentu mengerti apa itu biskuit.

Jujur, saya takut.

Takut merasakan ketidak adilannya, takut hanya akan membawa harapan kosong untuk mereka, takut semakin kecewa pada negara.

Saya benar-benar takut, untuk terbang, sekarang!

Image by: http://www.charliehartono.com/2016/07/cita-cita-setinggi-langit.html

1 thought on “Ketakutan Menuju Timur”

Leave a comment