Ngoepilah: Ekspektasi Cinta yang terukur

screen-shot-2017-01-24-at-6-27-20-pm

[expectation] A strong belief that something will happen or be the case in future.

Sebuah kondisi di mana seseorang menaruh harapan/ membayangkan sesuatu dan yakin hal itu akan terjadi. Sederhananya begini:

Kamu keluar kantor menunggu lift dan memupuk keyakinan bisa satu lift dengan si dia.

Lebih sederhana lagi: Kamu yakin hari ini akan seperti biasa, keluar kantor, macet, dan antrean transjakarta akan sepanjang jembatannya.

Itu semua ekspektasi yang sering kali kita buat tanpa perhitungan matang, padahal sudah ada fakta atau dasar untuk kita bisa mereka-reka apakah mungkin harapan kita bisa terjadi.

Ekpektasi terbentuk sebelum waktunya akan terjadi, bisa sejam, sehari, seminggu, sebulan, atau lebih lama lagi sebelum akhirnya (kita) dibenturkan dengan [realita] Saat di mana ekspektasi dibuktikan oleh sang waktu, apakah terjadi atau tidak.

Dalam konteks sebuah tim, hari sabtu kemarin Kak Oli (salah satu board member di GMB) menjelaskan pentingnya mengatur ekspektasi masing-masing orang yang ada di dalam tim kita. Mulai dari ekpekstasi akan kontribusi waktu, individu value, kompetensi, dan goals.

Setidaknya dengan menjelaskan dari awal apa yang diharapkan, masing-masing orang yang ada di tim akan saling mengerti satu sama lain dan tidak ada kekecewaan di kemudian hari. Itupun yang saya rasakan pasca sesi kemarin, hampir semua ekspektasi saya terjawab dan dijelaskan dengan detail, lagi-lagi itu karena Kak Oli sudah memberi waktu untuk satu sama lain saling mengerti apa yang diinginkan dan dapat memperhitungkan dari rekam jejak yang Kak Oli miliki.

Berbeda dalam konteks cinta Galih dan Ratna (yang hampir terjadi pada banyak kisah percintan teman-teman saya). Alih-alih menyudahi percintaannya, mereka malah melanjutkan bahkan sampai harus melanggar kehendak orang tua. Dengan dasar informasi ‘larangan orang tua’ seharusnya Para Galih dan Ratna bisa mengatur ekspektasi untuk tidak berharap cintanya akan bersatu di pelaminan.

“udah tau keturunan timur tengah gak bakal dinikahain sama yang bukan berhidung mancung mentereng juga. Eeehhh maksa lanjut, sakit hatii kaaann :p”

Tapi persoalan yang sama tidak terjadi pada cinta Adit dan Kopi. Kecintaannya pada kopi diejawantahkan pada sebuah coffee shop sederhana di bilangan kemayoran.

“Ngoepilah Kopi Rumah” Harapannya kepada para pengunjung ia refleksikan pada nama kedai kopi tersebut. Tempat sederhana yang ia kelola bersama personel band-nya benar-benar menjadi rumah untuk banyak orang berbagi keluh kesah, ide, kolaborasi, atau sekedar “mencari inspirasi cerita” seperti saya.

Ekspektasi pengunjung pun terbentuk. Ketika mendengar “Kopi Rumah” tentu segala rasa kopi starbucks, the journal, anomali, atau banyak rasa elit lainnya akan dilupakan. Ketika datang dan mencicipi, saya bahkan tidak berusaha membanding-bandingkan cita rasa kopinya. Dengan ekspektasi yang dibentuk Adit melalui nama kedainya “Ngoepilah Kopi Rumah” kekecewaan jadi sulit terjadi.

Sebaliknya cinta yang konon katanya tidak bisa diatur-atur seberapa besar kadarnya, justru bisa diukur dan diterjemahkan dengan baik oleh Adit dan para barista di sana.

Ketika diperhitungkan dengan “melek pada realita”, ekspektasi menjadi kunci untuk menutup pintu kekecewaan bukan?

Jadi gimana, masih ngarep ketemu dia di lift? :p

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s