Pandu, seorang pendaki kawakan di lingkungan pertemanan saya pernah bilang “Saat sampai di puncak-puncak gunung, ada sebagian diri kita yang ditinggalkan di sana.” Mungkin maksudnya kalau kita *pup di puncak gunung ya Ndu? 😛
Kalau Pandu meninggalkan sebagian dirinya di tempat-tempat yang ia singgahi. Sebaliknya, pergi ke tempat-tempat yang jauh dari rumah adalah proses menemukan potongan-potongan kecil diri saya. Mungkin benar metode yang dilakukan oleh keluarga Ayah saya dari Ranah Minang, setiap anak yang sudah berusia 17 tahun (biasanya pasca lulus SMA) harus pergi keluar rumah. Nenek pernah bilang “MERANTAU lah, kelak Dinda bisa bermanfaat untuk banyak orang.”
Perjalanan menemukan saya pada potongan-potongan kecil yang belum pernah saya kenal dari diri saya.
Potongan kecil yang paling berharga saya temukan di perjalanan ke Selat, Bali. Pulau yang menawarkan gemerlap dunia malam kebarat-baratan itu ternyata punya sisi lain yang lebih mewah dari nyuruput beer di pinggir pantai Seminyak. Letaknya menjorok ke timur dan bisa dicapai melalui Gianyar, perjalanan dari bandara sekitar 2 jam, dengan suasana sunyi senyap di malam hari.
Setelah keluar dari jalan bypass Ida Bagus Mantra, suasana di jalan jadi lebih sunyi setengah mencekam karena akan ada banyak makam dan tempat-tempat kramat yang dilewati. Biasanya pengemudi akan membunyikan klakson tanda menghormati.
Selama 4 hari di Selat, banyak hal berkesan yang membuka mata lebar-lebar dan mengubah cara saya memandang dunia. Semua itu didapat dari keluarga Pak Wayan dan Ibu Nengah, host family yang menampung saya selama berkegiatan di Selat. Beliau berdua mendampingi dengan sangat sabar, di setiap malam menjelang tidur Ibu Nengah pasti menanyakan apakah selimutnya cukup atau perlu ditambah. Ketika pulang beraktifitas terlalu malam, Pak Wayan dengan senang hati menawarkan air hangat untuk mandi, dan pasti menyediakan teh manis hangat.
Pak Wayan dan Ibu Nengah mungkin tidak menyadari satu hal, beliau telah mengajarkan makna ketulusan yang sebenarnya kepada saya.
Cara mereka menjamu saya dan teman-teman yang notabene baru dikenal, lebih dari sekedar menjamu tamu, tapi layaknya merawat anak. Ingat betul di hari kedua saat kami semua akan mengikuti upacara “tumpek pengatag”, Bu Nengah dibuat repot memberi pinjaman kain kebaya untuk gadis-gadis perempuan, selain itu ia juga dengan sabar mengajarkan para Jejaka memakai kain dan udeng ikat di kepala. Ketika kami semua sudah rapih dan diminta untuk menyantap sarapan terlebih dahulu, Ibu Nengah justru masih penuh keringat bahkan nyaris kehabisan kain kebaya untuk upacara yang akan dijalaninya.
Ibu Nengah telah memberi tauladan kepada saya tentang hidup yang melampaui kepentingan diri sendiri.
Sejujurnya saya berangkat ke Bali dengan kondisi iman dan attitude yang sangat tidak stabil. Banyak hal berubah dari dalam diri saya menjadi tidak lebih baik, saya sombong, sering kali sarkas, saya lupa bahwa semua orang itu berharga terlebih yang saya kenal, yang paling parah saya lupa bagaimana memanusiakan manusia, bahkan saya lupa pada Tuhan, pada Islam.
Suatu siang saat di Bali, saya tidak sengaja bertemu dengan bapak dari Ibu Nengah. Pak Ketut adalah tokoh masyarakat di Desa Selat. Pengalaman hidup membuatnya bisa menyentuh hati satu-satu dari kami. Entah bagiamana caranya beliau bisa menebak dengan benar perangai-perangai buruk dari masing-masing anak-anak muda ini. Saya salah satunya, saat berjabat tangan, setali tiga uang beliau membacakan karakter perempuan selebor ini. “Waahh ini kerass anaknya, sifatnya, kemauannya, kalau A harus A.” Serasa ada durian jatuh di atas kepala saya 😀
Tidak lama setelah itu, Pak Ketut menasihati saya dengan menyanyikan sebuah kidung berjudul “Saking tuhu manah guru” beliau juga mengartikan maknanya bait per bait (tapi lupa saya catat), yang saya tangkap intinya adalah Di atas langit itu masih ada langit, terlalu sombong hanya akan membuat kita merugi, lakukanlah semuanya dengan hati yang tulus, dan ingatlah dari mana kamu berasal. Seketika saat itu juga saya menangis, untuk pertama kalinya sebuah nasihat datang kepada saya dengan begitu halus, tulus dan menyentuh hati. Pak Ketut menyiram segala kemarahan saya terhadap Ayah, Ibu, dan bahkan Tuhan dengan caranya yang begitu tulus.
Melalui seorang Hindu saya kembali pada Islam.
Suatu saat ketika sedang berpesiar di sekitar Selat, Ibu Nengah bercerita kepada saya bahwa Pak Ketut pernah sakit parah dan nyaris meninggal, “Waktu itu rasanya dunia itu akan berhenti dinda.” Dalam hati saya bilang ‘Iya bu, I feel you’ akhirnya saya jadi terdorong untuk menceritakan kondisi Ibu saya di rumah yang juga sedang berjuang untuk tetap hidup dengan Kanker. Ibu Nengah menasihati saya untuk berdoa, lakukan apapun yang dimampu dan kembalikan semuanya pada Tuhan. “Berdoa din, pakai hatimu untuk percaya.” Begitu nasihat dari Bu Nengah yang tidak terlalu saya pikirkan saat itu juga.
Selama tinggal bersama keluarga Pak Wayan dan Ibu Nengah, hampir tidak pernah saya melihat mereka lupa untuk beribadah, segala sesuatu yang mereka dapat selalu diingat untuk mensyukuri dan memanjatkan terima kasih kepada Tuhan. Setiap kali sembahyang di pure rumah, ketulusan, welas asih, ketenangan, kebahagiaan tersirat jelas di wajah mereka. Di suatu pagi saat prosesi sembahyang keluarga pak Wayan, entah dari mana asalnya saya ingin kembali beribadah dengan cara Islam.
Mungkin tulisan saya kali ini terbaca menjadi lebih tidak masuk akal, tidak berlogika, tidak seperti Dinda pada biasanya. Memang benar adanya kali ini saya tidak sedang menulis dengan akal. Saya sekedar mencoba untuk mengetuk pintu hati saya sendiri yang selama ini terlalu arogan – sampai harus kehilangan seorang Kak Herry – Saya sekedar ingin menjadikan hidup saya lebih baik, lebih menghargai dan menyayangi teman-teman dan keluarga. Saya ingin menjadi Dinda yang juga menggunakan hatinya untuk bersikap dan bertindak.
Subhanallah, hidayah bisa datang dari mana saja. Begitu halus cara Allah menegur kita, salam kenal ya 🙂